PENDAHULUAN
Ketika seorang pria
ingin mengikatkan sebuah tali kasih sayang dengan seorang yang ia cintai, maka
ia memutuskan untuk menikah. Saat ijab qabul terucapkan, saat itu pula mereka
telah sah menjadi suami istri. Kewajiban dan tanggungjawab menjadi seorang suami
maupun seorang istri harus dilaksanakan sesuai syariat.
Dalam mahligai
kehidupan rumah tangga tidak selamanya berjalan lurus, mulus bak air mengalir.
Pastilah ada sebuah kerikil-kerikil ataupun batu loncatan, seperti beda
pendapat ataupun kesalahpahaman. Namun itu semua dapat diatasi jika antara
suami istri bisa saling mengerti satu sama lain. Lain halnya bila suami istri
sudah tidak ada saling mengerti, sering terjadi kecekcokan dalam rumah
tangganya, maka yang akan timbul masalah yang tak kunjung reda. Istri sudah
tidak taat lagi terhadap suami, ataupun durhaka terhadap suami.
Pembahasan mengenai
kedurhakan istri (nusyuz), pertikaian-pertikaian (syiqaq) dalam rumah tangga yang
tak kunjung reda, dan cara mengatasinya dengan dua hakim (hakamain) akan dibahas
dalam makalah ini.
PEMBAHASAN
A.
Nusyuz
1. Pengertian
Nusyuz
Dalam
literatur bahasa (etimologi), kata nusyuz berarti menentang (al-ishayan).
Istilah nusyuz ini diambil dari kata al-nasyaz yang berarti bagian bumi yang
tinggi. Sedangkan dalam kajian terminologis, nusyuz pada umumnya dimaknai
dengan tidak tunduk kepada Allah SWT. untuk taat kepada suami.
Adapun
nusyuz yang dilakukan oleh seorang istri ialah bahwa dia tidak mematuhi
suaminya dan tidak sudi mentaatinya, sebagaimana yang diwajibkan Allah atasnya.[1]
Kata nusyuz selalu menjadi sebutan atau seakan
hanya diperuntukkan bagi istri belaka. Ketidaktaatan ini dapat berbentuk
membangkang terhadap suami tanpa ada alasan yang jelas dan sah, atau istri
keluar meninggalkan rumah tanpa ada persetujuan atau izin suami.
Konsep nusyuz ini, didasarkan pada beberapa alasan, diantaranya
adalah QS. An Nisa: 34 berikut:
“ Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya [291],
maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar.”
2. Cara
Mengatasi Nusyuz
Berdasarkan
QS. An Nisa’ diatas, apabila terjadi nusyuz tindakan pertama yang boleh diambil
suami adalah menasehati istri dengan ayat-ayat kitab Allah, dan mengingatkannya
akan kewajiban Allah kepadanya, seperti bersikap baik dan sopan serta mengakui
keunggulan suami atas dirinya, dan mengingatkannya pula akan murka dan hukuman
Allah SWT.[2]
Dan dianjurkan suami mengatakan kepadanya,
bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
“Wanita
manapun yang meninggal dunia dalam keadaan diridhai suaminya, maka dia masuk surga.”HR.
At-Tirmidzi.
Apabila
tindakan pertama ini tidak membawa hasil, boleh diambil tindakan kedua, yaitu memisah
tidurnya. Apabila dengan tindakan kedua istri masih melakukan
aksi nusyuz, suami boleh melakukan tindakan ketiga , yaitu boleh memukulnya.[3]
Yang dimaksud berpisah tempat tidur atau al_Hajru
disini ialah, tidak tidur bersamanya dan suami boleh memukulnya dengan pukulan
yang mendidik dan tidak membahayakan, yakni jangan sampai melukai atau
mematahkan tulang, serta jangan memukul wajah dan tempat yang berbahaya.
Berdasarkan
uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa durhaka istri (nusyuz) itu ada tiga
tingkatan [4]:
1. Ketika
tampak tanda-tanda kedurhakaannya suami berhak member nasihat kepadanya.
2. Sesudah
nyata kedurhakaannya, suami berhak untuk berpisah tidur dengannya.
3. Kalau
dia masih durhaka maka suami berhak memukulnya.
Menurut
Imam an-Nawawi membagi nusyuz dalam dua tahap, yaitu pertama, ketika suami baru
melihat tanda-tanda istri melakukan nusyuz seperti bermuka masam atau cemberut,
berbicara keras dan tidak sopan, maka suami hanya boleh menasehatinya dengan lemah
lembut, tidak boleh meninggalkan dan memukulnya. Kedua, ketika suami
benar-benar melihat istrinya nusyuz,
maka suami baru boleh melakukan pisah
ranjang dan memukul.[5]
3. Nusyuz
dari pihak Suami
Ketika
permasalahan yang muncul akibat nusyuz dari pihak suami, yaitu ketika suami
bersikap keras terhadap istrinya, tidak mau menggauli dan tidak mau memberikan
haknya. Firman Allah telah mengatur dalam QS.An-Nisa’ ayat 128.
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS An-Nisa’ : 128)
Dari
ayat tersebut, menjelaskan bahwa nusyuz tidak hanya dialami atau dilakukan oleh
istri saja tetapi juga oleh suami. Selama ini yang selalu diangkat ke permukaan
adalah nusyuz istri. Sementara istri atau suami keduanya adalah makhluk manusia
yang tidak menutup kemungkinan bisa berbuat kekhilafan atau kekeliruan.
Penyelesaian
nusyuz dari pihak suami seperti ditegaskan dalam QS An-Nisa’: 128 diatas yaitu,
istri diberi hak mengadakan perjanjian dengan suaminya guna kebaikan hubungan
suami-istrinya terserah pada kesepakatn bersama misalnya istri bersedia
dikurangi hak-haknya asalkan suami baik kembali, suami berjanji dengan ikrar
tidak akan mengulangi lagi.
B.
Syiqaq
1. Pengertian
Syiqaq
Syiqaq,
berasal dari bahasa Arab “syaqqa”, “yasyuqqu”, “syiqaaq”, yang bermakna
“al-inkisaar”, pecah, berhamburan. Sedangkan syiqaq menurut istilah oleh ulama fiqhi
diartikan sebagai perpecahan/perselisihan yang terjadi antara suami istri yang
telah berlarut-larut sehingga dibutuhkan perhatian khusus terhadapnya.
Syiqaq
adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa,
sehingga antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran,
menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua pihak tidak dapat
mengatasinya.[6]
2. Dasar
Hukum
Dasar hukum tentang
syiqaq terdapat dalam Al-qur’an surat An-nisa’ ayat 35
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
C.
Hakamain
1. Pengertian
Hakamain
Menurut
bahasa hakamain berarti dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan
seorang hakam dari pihak istri untuk menyelesaikan kasus syiqaq.
Hakam
ini bisa diangkat dan dilakukan sendiri, ataupun dari hakim Pengadilan Agama.
Hal ini terjadi karena syiqaq, baik dengan
iwad dari pihak istri yang berarti
khuluk maupun talak biasa, cuma jatuhnya talak dari hakamain atas nama suami.[7]
Menurut
firman Allah QS. An-Nisa’ 35 tersebut, jika terjadi kasus syiqaq antara suami
istri, maka diutus seorang hakam dari pihak suami dan hakam dari pihak istri
untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab musabab terjadi
syiqaq serta berusaha mendamaikannya, atau mengambil prakarsa putusnya
perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya
2. Fungsi
dan Tugas Hakamain dalam Penyelesaian Syiqaq
Terhadap
kasus syiqaq ini, hakam bertugas menyelidiki dan mencari hakekat
permasalahannya, sebab-sebab timbulnya persengketaan, dan berusaha sekeras mungkin
untuk mendamaikan kembali agar suami istri kembali hidup bersama dengan
sebaik-baiknya, kemudian jika dalam perdamian itu tidak mungkin ditempuh, maka
kedua hakam berhak mengambil inisiatif untuk menceraikannya, kemudian atas
dasar prakarsa hakam ini maka hakim dengan keputusannya menetapkan perceraian
tersebut. Hakamain (kedua hakam) itu boleh memutuskan perpisahan antara suami
istri, tanpa suami menjatuhkan talaq.[8] Kedudukan cerai sebab kasus
syiqaq adalah bersifat ba’in,
artinya antara bekas suami istri hanya dapat kembali sebagai suami istri dengan
akad nikah baru.
Namun, jika hakam berselisih
sendiri hingga tidak dapat mengambil keputusan, maka hakam syar’i menyuruh
suami dan istri untuk mengganti hakam masing-masing dengan hakam yang lain,
yang diharapkan akan dapat mencapai kata sepakat .[9]
Dan jika suami istri yang bersengketa itu ternyata tidak suka dengan
diangkatnya juru pendamai dan tidak setuju atas keputusan apapun maka hakim
boleh memberi pelajaran kepada pihak yang zalim diantara mereka berdua, dan
membela yang dizalimi dengan memberikan haknya kepadanya, dan semua itu
dilaksanakan oleh kedua juru pendamai tersebut.
PENUTUP
Kesimpulan
Nusyuz pada umumnya
dimaknai dengan tidak tunduk kepada Allah SWT. untuk taat kepada suami. Adapun
nusyuz yang dilakukan oleh seorang istri ialah bahwa dia tidak mematuhi
suaminya dan tidak sudi mentaatinya, sebagaimana yang diwajibkan Allah atasnya.
Nusyus hukumnya haram bagi istri maupun suami.
Syiqaq adalah
krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa, sehingga
antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua
pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua pihak tidak dapat mengatasinya,
maka diutus seorang hakam dari pihak suami dan hakam dari pihak istri (hakamain)
untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab musabab terjadi
syiqaq serta berusaha mendamaikannya, atau mengambil prakarsa putusnya
perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khin,
Mustofa, dkk. Fiqih Syafi’i Sistimatis.
Semarang : Asy-Syifa. 1987
Subhan,
Zaitunah. Menggagas Fiqih Pemberdayaan
Perempuan. Jakarta : El-Kahfi. 2008
Forum Kajian
Kitab Kuning. Kembang Setaman Perkawinan.
Jakarta: Buku Kompas. 2005
Ghazali, Abd.
Rahman . Fiqih Munakahat. Jakarta :
Kencana. 2006
Abidin,
Slamet & Drs. H. Aminuddin. Fiqih Munakahat II. Bandung : CV Pustaka
Setia. 1999
Rifdi, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang :
CV.Toha Putra. 2000
Kamal, Mukhtar. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
Jakarta : Bulan Bintang, 1993
[1] Dr. Mustofa
al-Khin, dkk. Fiqih Syafi’i Sistimatis.
Semarang : Asy-Syifa, 1987, hlm. 325
[2] Ibid, hlm. 327
[3] Zaitunah
Subhan, Menggagas Fiqih Pemberdayaan
Perempuan, Jakarta :El-Kahfi , 2008, hlm. 291
[4]Mukhtar Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
Jakarta : Bulan Bintang, 1993, hlm.186
[5] Forum Kajian
Kitab Kuning. Kembang Setaman Perkawinan.
Jakarta : Buku Kompas, 2005, hlm.145
[6] Dr. H.Abd.
Rahman Ghazali, MA, Fiqih Munakahat,
Kencana: Jakarta,2006, hlm. 241
[7] Drs. Slamet
Abidin & Drs. H. Aminuddin. Fiqih
Munakahat II. CV Pustaka Setia : Bandung, 1999, hlm. 33
[8] Op.Cit. hlm. 242-243
Tidak ada komentar:
Posting Komentar