Kamis, 14 Februari 2013

makalah Fiqih 3 nusyuz, siqaq dan hakamain


PENDAHULUAN

Ketika seorang pria ingin mengikatkan sebuah tali kasih sayang dengan seorang yang ia cintai, maka ia memutuskan untuk menikah. Saat ijab qabul terucapkan, saat itu pula mereka telah sah menjadi suami istri. Kewajiban dan tanggungjawab menjadi seorang suami maupun seorang istri harus dilaksanakan sesuai syariat.
Dalam mahligai kehidupan rumah tangga tidak selamanya berjalan lurus, mulus bak air mengalir. Pastilah ada sebuah kerikil-kerikil ataupun batu loncatan, seperti beda pendapat ataupun kesalahpahaman. Namun itu semua dapat diatasi jika antara suami istri bisa saling mengerti satu sama lain. Lain halnya bila suami istri sudah tidak ada saling mengerti, sering terjadi kecekcokan dalam rumah tangganya, maka yang akan timbul masalah yang tak kunjung reda. Istri sudah tidak taat lagi terhadap suami, ataupun durhaka terhadap suami.
Pembahasan mengenai kedurhakan istri (nusyuz), pertikaian-pertikaian (syiqaq) dalam rumah tangga yang tak kunjung reda, dan cara mengatasinya dengan dua hakim (hakamain) akan dibahas dalam makalah ini.










PEMBAHASAN
A.    Nusyuz
1.      Pengertian Nusyuz
Dalam literatur bahasa (etimologi), kata nusyuz berarti menentang (al-ishayan). Istilah nusyuz ini diambil dari kata al-nasyaz yang berarti bagian bumi yang tinggi. Sedangkan dalam kajian terminologis, nusyuz pada umumnya dimaknai dengan tidak tunduk kepada Allah SWT. untuk taat kepada suami.
Adapun nusyuz yang dilakukan oleh seorang istri ialah bahwa dia tidak mematuhi suaminya dan tidak sudi mentaatinya, sebagaimana yang diwajibkan Allah atasnya.[1]
Kata  nusyuz selalu menjadi sebutan atau seakan hanya diperuntukkan bagi istri belaka. Ketidaktaatan ini dapat berbentuk membangkang terhadap suami tanpa ada alasan yang jelas dan sah, atau istri keluar meninggalkan rumah tanpa ada persetujuan atau izin suami.
      Konsep nusyuz ini, didasarkan pada beberapa alasan, diantaranya adalah QS. An Nisa: 34 berikut:
    
“ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri  ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya [291], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
2.      Cara Mengatasi Nusyuz
Berdasarkan QS. An Nisa’ diatas, apabila terjadi nusyuz tindakan pertama yang boleh diambil suami adalah menasehati istri dengan ayat-ayat kitab Allah, dan mengingatkannya akan kewajiban Allah kepadanya, seperti bersikap baik dan sopan serta mengakui keunggulan suami atas dirinya, dan mengingatkannya pula akan murka dan hukuman Allah SWT.[2]
 Dan dianjurkan suami mengatakan kepadanya, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:


“Wanita manapun yang meninggal dunia dalam keadaan diridhai suaminya, maka dia masuk surga.”HR. At-Tirmidzi.
Apabila tindakan pertama ini tidak membawa hasil, boleh diambil tindakan kedua, yaitu memisah tidurnya. Apabila dengan tindakan kedua istri masih melakukan aksi nusyuz, suami boleh melakukan tindakan ketiga , yaitu boleh memukulnya.[3] Yang dimaksud berpisah tempat tidur atau al_Hajru disini ialah, tidak tidur bersamanya dan suami boleh memukulnya dengan pukulan yang mendidik dan tidak membahayakan, yakni jangan sampai melukai atau mematahkan tulang, serta jangan memukul wajah dan tempat yang berbahaya. 
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa durhaka istri (nusyuz) itu ada tiga tingkatan [4]:
1.      Ketika tampak tanda-tanda kedurhakaannya suami berhak member nasihat kepadanya.
2.      Sesudah nyata kedurhakaannya, suami berhak untuk berpisah tidur dengannya.
3.      Kalau dia masih durhaka maka suami berhak memukulnya.
Menurut Imam an-Nawawi membagi nusyuz dalam dua tahap, yaitu pertama, ketika suami baru melihat tanda-tanda istri melakukan nusyuz seperti bermuka masam atau cemberut, berbicara keras dan tidak sopan, maka suami hanya boleh menasehatinya dengan lemah lembut, tidak boleh meninggalkan dan memukulnya. Kedua, ketika suami benar-benar melihat istrinya  nusyuz, maka suami baru boleh melakukan  pisah ranjang dan memukul.[5]
3.      Nusyuz dari pihak Suami
Ketika permasalahan yang muncul akibat nusyuz dari pihak suami, yaitu ketika suami bersikap keras terhadap istrinya, tidak mau menggauli dan tidak mau memberikan haknya. Firman Allah telah mengatur dalam QS.An-Nisa’ ayat 128.
                 
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS An-Nisa’ : 128)
Dari ayat tersebut, menjelaskan bahwa nusyuz tidak hanya dialami atau dilakukan oleh istri saja tetapi juga oleh suami. Selama ini yang selalu diangkat ke permukaan adalah nusyuz istri. Sementara istri atau suami keduanya adalah makhluk manusia yang tidak menutup kemungkinan bisa berbuat kekhilafan atau kekeliruan.
Penyelesaian nusyuz dari pihak suami seperti ditegaskan dalam QS An-Nisa’: 128 diatas yaitu, istri diberi hak mengadakan perjanjian dengan suaminya guna kebaikan hubungan suami-istrinya terserah pada kesepakatn bersama misalnya istri bersedia dikurangi hak-haknya asalkan suami baik kembali, suami berjanji dengan ikrar tidak akan mengulangi lagi.

B.     Syiqaq
1.      Pengertian Syiqaq
Syiqaq, berasal dari bahasa Arab “syaqqa”, “yasyuqqu”, “syiqaaq”, yang bermakna “al-inkisaar”, pecah, berhamburan. Sedangkan  syiqaq menurut istilah oleh ulama fiqhi diartikan sebagai perpecahan/perselisihan yang terjadi antara suami istri yang telah berlarut-larut sehingga dibutuhkan perhatian khusus terhadapnya.
Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa, sehingga antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua pihak tidak dapat mengatasinya.[6]
2.      Dasar Hukum
Dasar hukum tentang syiqaq terdapat dalam Al-qur’an surat An-nisa’ ayat 35
                    
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
C.    Hakamain
1.      Pengertian Hakamain
Menurut bahasa hakamain berarti dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri untuk menyelesaikan kasus syiqaq.
Hakam ini bisa diangkat dan dilakukan sendiri, ataupun dari hakim Pengadilan Agama. Hal ini terjadi karena syiqaq, baik dengan  iwad dari pihak istri yang berarti khuluk maupun  talak  biasa, cuma jatuhnya talak dari hakamain  atas nama suami.[7]
Menurut firman Allah QS. An-Nisa’ 35 tersebut, jika terjadi kasus syiqaq antara suami istri, maka diutus seorang hakam dari pihak suami dan hakam dari pihak istri untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab musabab terjadi syiqaq serta berusaha mendamaikannya, atau mengambil prakarsa putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya
2.      Fungsi dan Tugas Hakamain dalam Penyelesaian Syiqaq
Terhadap kasus syiqaq ini, hakam bertugas menyelidiki dan mencari hakekat permasalahannya, sebab-sebab timbulnya persengketaan, dan berusaha sekeras mungkin untuk mendamaikan kembali agar suami istri kembali hidup bersama dengan sebaik-baiknya, kemudian jika dalam perdamian itu tidak mungkin ditempuh, maka kedua hakam berhak mengambil inisiatif untuk menceraikannya, kemudian atas dasar prakarsa hakam ini maka hakim dengan keputusannya menetapkan perceraian tersebut. Hakamain (kedua hakam) itu boleh memutuskan perpisahan antara suami istri, tanpa suami menjatuhkan talaq.[8] Kedudukan cerai sebab kasus syiqaq adalah bersifat ba’in, artinya antara bekas suami istri hanya dapat kembali sebagai suami istri dengan akad nikah baru.
Namun, jika hakam berselisih sendiri hingga tidak dapat mengambil keputusan, maka hakam syar’i menyuruh suami dan istri untuk mengganti hakam masing-masing dengan hakam yang lain, yang diharapkan akan dapat mencapai kata sepakat .[9] Dan jika suami istri yang bersengketa itu ternyata tidak suka dengan diangkatnya juru pendamai dan tidak setuju atas keputusan apapun maka hakim boleh memberi pelajaran kepada pihak yang zalim diantara mereka berdua, dan membela yang dizalimi dengan memberikan haknya kepadanya, dan semua itu dilaksanakan oleh kedua juru pendamai tersebut.


PENUTUP
Kesimpulan
Nusyuz pada umumnya dimaknai dengan tidak tunduk kepada Allah SWT. untuk taat kepada suami. Adapun nusyuz yang dilakukan oleh seorang istri ialah bahwa dia tidak mematuhi suaminya dan tidak sudi mentaatinya, sebagaimana yang diwajibkan Allah atasnya. Nusyus hukumnya haram bagi istri maupun suami.
Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa, sehingga antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua pihak tidak dapat mengatasinya, maka diutus seorang hakam dari pihak suami dan hakam dari pihak istri (hakamain) untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab musabab terjadi syiqaq serta berusaha mendamaikannya, atau mengambil prakarsa putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya


















DAFTAR PUSTAKA

Al-Khin, Mustofa, dkk. Fiqih Syafi’i Sistimatis. Semarang : Asy-Syifa. 1987
Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan. Jakarta : El-Kahfi. 2008
Forum Kajian Kitab Kuning. Kembang Setaman Perkawinan. Jakarta: Buku Kompas. 2005
Ghazali, Abd. Rahman . Fiqih Munakahat. Jakarta : Kencana. 2006
Abidin, Slamet  & Drs. H. Aminuddin. Fiqih Munakahat II. Bandung : CV Pustaka Setia. 1999
Rifdi, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang : CV.Toha Putra. 2000
Kamal, Mukhtar. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta : Bulan Bintang, 1993


[1] Dr. Mustofa al-Khin, dkk. Fiqih Syafi’i Sistimatis. Semarang : Asy-Syifa, 1987,  hlm. 325
[2] Ibid, hlm. 327
[3] Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan, Jakarta :El-Kahfi , 2008, hlm. 291
[4]Mukhtar Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta : Bulan Bintang, 1993, hlm.186
[5] Forum Kajian Kitab Kuning. Kembang Setaman Perkawinan. Jakarta : Buku Kompas,  2005, hlm.145
[6] Dr. H.Abd. Rahman Ghazali, MA, Fiqih Munakahat, Kencana: Jakarta,2006, hlm. 241
[7] Drs. Slamet Abidin & Drs. H. Aminuddin. Fiqih Munakahat II. CV Pustaka Setia : Bandung, 1999, hlm. 33
[8] Op.Cit. hlm. 242-243
[9] Drs. H. Moh. Rifdi, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang : CV.Toha Putra, 2000, hlm. 499

Tidak ada komentar:

Posting Komentar