MAKALAH
RUMAH SEBAGAI MADRASAH
DAN
MEMANFAATKAN TENAGA PENGAJAR PROFESIONAL
PENDAHULUAN
Dalam pandangan Islam dikenal bahwa
kaum ibu adalah bagaikan madrasah. Jika madrasahnya baik, maka muridnya akan
menjadi baik. Agar anak-anak mereka menjadi baik, maka seorang ibu
justru harus memberikan sendiri pendidikan di rumah secara baik. Pendidikan
bagi anak-anaknya tidak boleh diserahkan kepada pembantu. Karena dapat mempengaruhi karakter kepribadian
seorang anak.
Kemudian
layaknya seorang pendidik atau pengajar, orang tua dalam sudah sepatutnya
memberikan kasih saying yag lebih kepada anaknya, membimbingnya, bahkan jangan sampai melukainya. Sebab, anak
adalah anugerah terindah, investasi masa depan yang
penuh makna.
Dalam makalah
hadits tarbawi ini akan dibahas mengenai rumah sebagai madrasah, dan
memanfaatkan tenaga pengajar profesional.
PEMBAHASAN
A.
Rumah sebagai Madrasah
1.
Materi Hadits
عثمان بن الأرقم أنه كان يقول : أنا
ابن سبع الإسلام أسلم أبي سابع سبعة و كانت داره على الصفا و هي الدار التي كان
النبي صلى الله عليه و سلم يكون فيها في الإسلام و فيها
دعا الناس إلى الإسلام
2. Terjemah Hadits
“Ustman bin Arqam berkata: saya masuk Islam usia tujuh
tahun, ayah saya orang yang ke tujuh masuk Islam. Rumahnya di tanah safa dan
rumah itu pernah di tempati oleh Nabi Muhammad SAW untuk berdakwah dan berdo’a
kepada manusia untuk masuk Islam. (HR. Al- Hakim)”
3. Mufrodat
Masuk islam usia 7 tahun ابن سبع الإسلام :
Orang yang ke tujuh masuk Islam أسلم أبي سابع سبعة :
Rumah : داره
Doa:
دعا
4. Biografi Perawi
Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam
Adalah seorang pengusaha yang berpengaruh dari suku Makhzum dari kota Mekkah. Dalam sejarah Islam, dia orang ketujuh dari As-Sabiqun al-Awwalun. Rumahnya berlokasi di bukit Safa, di tempat inilah para pengikut Muhammad
belajar tentang Islam. Sebelumnya rumah al-Arqam ini disebut Dar al-Arqam
(rumah Al-Arqam) dan setelah dia memeluk Islam akhirnya disebut Dar al-Islam
(Rumah Islam). Dari rumah inilah madrasah pertama kali ada. Al-Arqam juga ikut hijrah bersama dengan Nabi Muhammad ke Madinah.[2]
Al-Hakim
Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Naisaburi (321 H/933
M - 405 H/1014 M) atau terkenal dengan sebutan Al-Hakim saja, adalah salah
seorang imam di antara ulama-ulama hadits dan seorang penyusun kitab yang terkemuka di zamannya. Namanya
lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin
Handawaihi bin Nu'aim al-Dhabbi al-Thahmani al-Naisaburi, juga terkenal
dengan sebutan gelarnya Ibnu al-Baiyi. Ia dilahirkan di Naisabur pada pagi
Jumat, bertepatan dengan 3 Rabiul Awal pada tahun 321 H. Ia pernah dilantik
sebagai hakim di Naisabur pada tahun 359 H, sehingga dikenal dengan nama
"al-Hakim". Ia wafat juga di Naisabur pada tahun 405 H.[3]
Ketika masih kanak-kanak, al-Hakim mendapat pendidikan agama, untuk
pertama kalinya dari ayah dan pamannya sendiri, sebagai lazimnya seorang ayah
dan anggota keluarga lainnya di kalangan komunitas muslim. Pada usia 9 tahun
al-Hakim mulai belajar hadits dan memasuki 13 tahun, tepatya 337 H, ia mulai
belajar hadits secara khusus kepada Abu Khatim ibn Hibban. Ketika al-Hakim
berusia 20 tahun, tepatnya tahun 341 H, ia melakukan perjalanan ilmiah ke luar
negeri, seperti Irak dan Hijaz. Merasa belum puas dengan perjalanan yang
pertama, ia pergi lagi ke tempat tersebut pada tahun 368 H, keika berumur 47
tahun. Perjalanan ilmiah seperti iitu merupakan tradisi di kalangan ahli Hadits,
karena mereka menganggap bahwa ahli hadits yang hanya mengandalkan riwayat dari
ulama kampong halamannya tidakberbobot dan kutang ilmiah. [4]
5. Keterangan Hadits
Dari hadits diatas dapat dipahami bahwa Ustman bin Abi Arqam telah
masuk islam pada usia 7 tahun, ayahnya terlebih dahulu masuk islam dan termasuk
golongan assabiqunal awwalun (orang yang mula-mula masuk islam), merupakan orang yang ke tujuh dari jumlah
orang tujuh tersebut. Rumahnya terletak di daerah Safa, dan di rumah tersebut
Rasulullah pernah menempati di dalamnya untuk berdakwah atau mengajak manusia
untuk masuk Islam dan di rumah itu banyak orang yang masuk Islam. Rumah milik
Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam ini merupakan Madrasah pertama sepanjang sejarah Islam, tempat ilmu pengetahuan
dan amal saleh diajarkan secara terpadu oleh sang guru pertama, yaitu Muhammad
Rasulullah Saw. Beliau sendiri
yang mengajar dan mengawasi proses pendidikan disana. . Akhirnya rumah Al-Arqam
yang sebelumnya disebut Dar al-Arqam (rumah Al-Arqam),
setelah dia memeluk Islam disebut dengan Dar al-Islam (Rumah Islam).
6. Aspek
Tarbawi
Pendidikan anak diawali dari rumah. Nyatanya, rumah adalah sebuah
madrasah pertama bagi anak-anak. Rumah adalah tempat anak mendapatkan
pengajaran dari orang tuanya sebelum ia terjun ke dunia pendidikan. Seperti dalam hadits ini “ Setiap anak
dilahirkan dengan membawa (dalam keadaan) fitrah. Kedua orang tuanya yang
menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi". Telah jelas bahwa apabila di dalam rumah
itu terdiri dari orang tua yang selalu mengajarkan kebaikan kepada
anak-anaknya, selalu dihiasi dengan nuansa islami akan tercipta keluarga yang
harmonis.
Oleh karena itu peran orang tua dalam mendidik anak sangatlah
berpengaruh terhadap perkembangan anaknya, sebab orang tua merupakan figur yang
menjadi teladan bagi anak-anak, secara tidak langsung mereka belajar dari
perilaku kedua orang tuanya. Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar
memaki. Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah. Jika anak
dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan
dengan olok-olok, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar
menghargai. Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan.
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam
kehidupan.
Kesuksesan dan kebahagiaan keluarga sangat
ditentukan oleh peran seorang ibu. Jika ibu adalah seorang wanita yang
baik, akan baiklah kondisi keluarga. Sebaliknya, apabila ibu adalah wanita yang
bersikap buruk, hancurlah keluarga. Seorang ibu, yang misalnya gagal melakukan
perannya sebagai pendidik, akan beresiko sangat luas. Pendidikan keluarga yang gagal, hingga mengakibatkan seseorang
tidak memiliki karakter atau kepribadian yang diharapkan, maka akan merugikan
bahkan merusak, tidak saja keluarga yang bersangkutan, tetapi juga bangsa
secara keseluruhan. Oleh karena itu, pendidikan keluarga dipandang sebagai
sangat strategis dan utama. Sedangkan lembaga pendidikan formal, perannya
dianggap sebagai penyempurna.
B. Memanfaatkan
Tenaga Pengajar Profesional
1. Materi Hadits
مِنْ الْأَسْرَى كَانَ نَاسٌ ابْنِ عَبَّاسٍ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ : قَال قَالَ َ دَاوُدُ بْنُ عَاصِمٍ عَلِيُّ حَدَّثَنَا
أَوْلَادَ فِدَاءَهُمْ أَنْ يُعَلِّمُوا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُمْ فِدَاءٌ فَجَعَلَ لَمْ يَكُنْ يَوْمَ بَدْرٍ
قَالَ ضَرَبَنِي مُعَلِّمِي قَالَ يَبْكِي إِلَى أَبِيهِ فَقَالَ مَا شَأْنُكَ الْأَنْصَارِ الْكِتَابَةَ قَالَ فَجَاءَ يَوْمًا غُلَامٌ
الْخَبِيثُ يَطْلُبُ بِذَحْلِ بَدْرٍ وَاللَّهِ لَا تَأْتِيهِ أَبَدًا
2. Terjemah Hadits
“Telah menceritakan kepada kami Ali bin 'Ashim berkata; Dawud berkata telah menceritakan kepada kami Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata; "ada seorang tawanan pada perang Badar tidak bisa menebus dirinya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjadikan tebusan mereka untuk mengajarkan kepada anak-anak Anshar menulis." Ia berkata; Pada hari itu datang seorang anak menangis kepada bapaknya, maka bapaknya bertanya; "Apa yang terjadi padamu?" Ia menjawab; pengajarku memukulku." Sang bapak berkata; "Si buruk itu. Ia telah menuntut (balas) dengan bekas perang Badar. Demi Allah jangan lagi engkau mendatanginya."
3. Mufrodat
Tawanan pada perang Badar :يَوْمَ بَدْرٍ مِنْ الْأَسْ
Tidak bisa menebus dirinya :لَهُمْ فِدَاءٌ لَمْ يَكُنْ
Mengajarkan : يُعَلِّمُوا
Menulis : الْكِتَابَةَ
Seorang anak menangis kepada
bapaknya : أَبِيهِ إِلَى
يَبْكِي
Pengajarku memukulku :
ضربني معلمي
Menuntut
balas : يَطْلُبُ الْخَبِيثُ
4. Biografi Perawi
Nama: Ahmad bin Muhamad bin Hanbal
bin Hilal bin Asad bin Idris bin
Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin 'Auf bin Qasithi bin Marin bin Syaiban bin Dzuhl bin
Tsa'labah bin Uqbah bin Sha'ab bin Ali
bin Bakar bin Wail.
Kuniyah: Abu Abdillah
Nasab beliau: Bapak dan ibu beliau
adalah orang arab, keduanya anak Syaiban bin Dzuhl bin Tsa'labah, seorang arab asli. Bahkan nasab
beliau bertemu dengan Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam di Nazar.
Imam
Ahmad dilahirkan di kota Baghdad. Ada yang
berpendapat bahwa di Marwa, kemudian di bawa ke Baghdad ketika beliau
masih dalam penyusuan. Hari lahir beliau
pada tanggal dua puluh Rabi'ul awwal tahun
164 hijriah.
Ayah
Imam Ahmad dan kakeknya meninggal ketika beliau
lahir, sehingga semenjak kecil ia hanya mendapatkan pengawasan dan kasih
sayang ibunya saja. Jadi, beliau tidak
hanya sama dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam masalah nasab saja, akan tetapi beliau juga sama dengan
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
masalah yatim.
Permulaan imam Ahmad dalam rangka menuntut ilmu pada tahun 179 hijriah, pada saat itu beliau berusia empat belas tahu, beliau menuturkan tentang dirinya; ' ketika aku masih anak-anak, aku modar-mandir menghadiri sekolah menulis, kemudian aku bolak-balik datang keperpustakaan  ketika aku berumur empat belas tahun.
Permulaan imam Ahmad dalam rangka menuntut ilmu pada tahun 179 hijriah, pada saat itu beliau berusia empat belas tahu, beliau menuturkan tentang dirinya; ' ketika aku masih anak-anak, aku modar-mandir menghadiri sekolah menulis, kemudian aku bolak-balik datang keperpustakaan  ketika aku berumur empat belas tahun.
Beliau
mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban
dunia Islam, yang penuh dengan beragam
jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari', ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya
menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu
bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus
menuntut ilmu dengan penuh semangat yang
tinggi dan tidak mudah putus asa.
Semenjak
kecil imam Ahmad memulai untuk belajar, banyak
sekali guru-guru beliau, diantaranya; Husyaim bin Basyir, imam Ahmad
berguru kepadanya selama lima tahun di
kota Baghdad, Sufyan bin Uyainah, Ibrahim
bin Sa'ad, Yahya bin Sa'id , Ismail bin 'Ulaiyah, Al Imam Asy Syafi'I, Al Qadli Abu Yusuf , Ali bin Hasyim
bin al Barid, Mu'tamar bin Sulaiman
Waki' bin Al Jarrah, 'Amru bin Muhamad bin Ukh asy Syura, dan masih
banyak lagi.
Diantara
hasil karya Imam Ahmad adalah sebagai berikut : Al Musnad, Al 'Ilal, An
Nasikh wa al Mansukh, Az Zuhd, Al
Asyribah, Al Iman, Al Fadla`il, Al Fara`idl, Al Manasik, Tha'atu ar Rasul, Al
Muqaddam wa al mu`akhkhar, Jawwabaatu al qur`an, Haditsu Syu'bah, Nafyu at
tasybih, Al Imamah, Kitabu al fitan, Kitabu fadla`ili ahli al bait, Musnad ahli al bait, Al asmaa`
wa al kunaa, Kitabu at tarikh. Ada lagi beberapa hasil karya beliau yang di
kumpulkan oleh Abu Bakar al Khallal,
diantaranya; Kitabu al 'illal, Kitabu al 'ilmi, dan Kitabu as sunnah.
Pada
permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi'ul
Awwal tahun 241, beliau menghadap kea rabbnya menjemput ajalnya di Baghdad.
b. Ali bin 'Ashim
Nama Lengkap : Ali bin 'Ashim bin
Shuhaib
·
Kalangan
: Tabi'ut Tabi'in kalangan biasa
·
Kuniyah
: Abu Al Hasan
·
Negeri
semasa hidup : Hait
·
Wafat
: 201 H
5. Keterangan Hadits
Dari hadits
diatas dapat diperoleh keterangan bahwa pada saat perang badar yang dimenangkan
oleh kaum muslim atas kaum Quraiys, Rasulullah menangkap beberapa musuh dan
dijadikan tawanan. Akan tetapi beberapa tawanan tersebut tidak mempunyai
tebusan untuk jaminan kebebasan dirinya. Maka dari itu, Rasulullah mengganti
tebusannya dengan jalan lain, yaitu menyuruh para tawanan itu mengajarkan
menulis anak-anak dari kaum Anshor, yang saat itu masih banyak yang belum bisa
baca tulis. Setelah kegiatan belajar mengajar berlangsung beberapa hari, pada
suatu saat ada seorang anak yang mendatangi ayahnya dalam keadaan menangis.
Setelah ditanya, ternyata anak tersebut telah dipukul gurunya yang tidak lain
adalah tawanan Rasul. Maka mulai saat itu sang Ayah melarang anaknya untuk
tidak datang kepada guru tadi selama-lamanya.
Dengan
demikian, jelas secara tersirat kita bisa mengetahui bahwa tawanan tadi
kemungkinan besar menaruh dendam pada rasul karena telah dijadikan tawanan dan
malah disuruh untuk mengajari kaum Anshor menulis. Secara otomatis, mereka juga
menyimpan dendam pada kaum tersebut dan meluapkan dendamnya pada anak-anak kaum
itu. Berarti, tawanan tadi sudah berlaku menyimpang dan tidak bersikap
professional dalam mengajar anak-anak kaum anshor. Seharusnya, tawanan yang
menjadi guru itu harus bisa membedakan mana masalah pribadi yaitu kemarahan dan
dendam akibat kalah dalam perang badar dan posisinya sewaktu ia menjadi guru.
6. Aspek Tarbawi
Dalam hal ini guru sebagai professional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan
kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat
sekelilingnya. Masyarakat terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan
guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak.
Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi
arahan dan dorongan kepada anak didiknya, dan bagaimana cara guru berpakaian
dan berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa, teman-temannya serta
anggota masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas.
Sikap
professional seorang pendidik jika dikaitkan dengan sosok Rasulullah sebagai
pendidik ideal dapat dilihat dari, profil Rasulullah sebagai murabbi,
muallim,dan muaddib.
a.
Rasulullah
sebagai murabbi.
Dalam
konsep murabbi sebagai pendidik, ia berusaha untuk mencontoh sifat-sifat
Tuhan, sehingga akan muncul sifat-sifat yang baik pada diri seorang pendidik.
Disamping mengaplikasikan sikap-sikap terpuji tersebut, ia juga berkewajiban
mengajarkan sifat-sifat terpuji tersebut kepada peserta didiknya. Apabila
ditelaah dalam hadits Rasullah konsep murabbi sebagai pendidik adalah :
Pendidik
mempunya wewenang penuh dalam mengemban amanatnya, perlunya usaha pengembangan
profesionalisme pendidik agar tugasnya dapat dijalankan secara optimal,
pendidik semestinya memahami aspek psikologis seorang anak, pendidik adalah
orang yang berkewajiban mengembangkan potensi anak. [6]
b.
Rasulullah
sebagai muallim
Konsep
muallim sebagai pendidik berimplikasi terhadap konsep pendidik dalam
pendididkan islam, sebagai berikut :
1)
Pendidik
memiliki kedudukan yang paling utama diantara sekalian manusia.
2)
Muallim sebagai pendidik bertugas untuk : mencerahkan kehidupan umat dari
kejahiliyyahan, mengajarkan dan mengamalkan ilmunya kepada umat, meluruskan
pemimpin bila salah dan memberikan masukan dalam mengelola pemerintahan.
3)
Muallim sebagai pendidik memiliki sifat-sifat sebagai berikut : ikhlas
dalam mengajarkan ilmunya, tidak pemarah,tidak memukul peserta didik, dan
menunaikan amanahnya secara sempurna.[7]
c.
Rasulullah
sebagai muaddib
Secara
terminologi muaddib adalah seorang pendidik yang bertugas untuk menciptakan
suasana belajar yang dapat menggerakkan peserta didik untuk berperilaku atau
beradab sesuai dengan norma-norma, tata susila dan sopan santun yang berlaku
dalam masyarakat.[8]
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
hadits diatas tentang rumah sebagai madrasah, bahwa kesuksesan dan kebahagiaan keluarga sangat
ditentukan oleh peran seorang ibu. Jika ibu adalah seorang wanita yang
baik, akan baiklah kondisi keluarga. Sebaliknya, apabila ibu adalah wanita yang
bersikap buruk, hancurlah keluarga. Seorang ibu, yang misalnya gagal melakukan
perannya sebagai pendidik, akan beresiko sangat luas. Pendidikan keluarga yang
gagal, hingga mengakibatkan seseorang tidak memiliki karakter atau kepribadian
yang diharapkan, maka akan merugikan bahkan merusak, tidak saja keluarga yang
bersangkutan, tetapi juga bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itu, pendidikan keluarga dipandang sebagai sangat
strategis dan utama. Sedangkan lembaga pendidikan formal, perannya dianggap
sebagai penyempurna.
Sedangkan
menurut hadits tentang memanfaatkan tenaga pengajar profesional, bahwa guru sebagai professional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan
kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat
sekelilingnya. Masyarakat terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan
guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak.
Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi
arahan dan dorongan kepada anak didiknya, dan bagaimana cara guru berpakaian
dan berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa, teman-temannya serta
anggota masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Mustadrak ‘Ala Shohihaini, juz 2
Abdurrahman, M. Pergeseran Pemikiran Hadits. Jakarta:
Paramadina. 2000
Nizar, H. Samsul dan Dr. Zaenal Efendi Hasibuan, M.A , Hadits
Tarbawi, Jakarta: Kalam Mulia, 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Abdillah_al-Arqam_bin_Abi_al-Arqam
http://125.164.221.44/hadisonline/hadis9/biografi_open.php?imam=ahmad
[1] Kitab
Mustadrak ‘Ala Shohihaini, hlm. 221
[2]
http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Abdillah_al-Arqam_bin_Abi_al-Arqam
[3]
http://id.wikipedia.org/wiki/Hakim_al-Naisaburi
[4] Dr. M.
Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits, Jakarta: Paramadina, 2000, hlm.30-32
[5]
http://125.164.221.44/hadisonline/hadis9/biografi_open.php?imam=ahmad
[6] Prof. Dr. H.
Samsul Nizar, M.A dan Dr. Zaenal Efendi Hasibuan, M.A , Hadits Tarbawi, Jakarta:
Kalam Mulia, 2011, hlm. 116-117
Tidak ada komentar:
Posting Komentar